Profil Bung Tomo Singkat dan Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November
Profil Bung Tomo
Soetomo atau Bung Tomo Lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920. Ia merupakan ikon perlawanan Indonesia menentang pasukan asing pada tahun 1945 di Surabaya. Saat pertempuran 10 November diabadikan menjadi Hari Pahlawan, nama Bung Tomo semakin harum dengan kisah heroiknya dalam mempertahankan kemerdekaan di Surabaya.
Semangat patriotisme Bung Tomo sudah tampak sejak ia masih muda. Kiprahnya dimulai dari anggota gerakan Kepanduan Bangsa Indonesa (KBI). Di usia 17 tahun, Soetomo muda dipercaya menjadi Sekretaris Partai Indonesia Raya (Parindra) Cabang Tembok Duku, Surabaya.
Selain itu, ia juga merambah dunia jurnalistik pada usia 17 tahun, yang semakin menempa semangat juangnya untuk bangsa. Karirnya dalam dunia tulis menulis pertama kali ia rasakan pada harian Oemoem, Surabaya. Jabatan tertingginya sebagai wartawan adalah Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara, 1945.
Bung Tomo yang memiliki kemampuan orasi dengan kalimat-kalimat patriotik terus membakar spirit perjuangan rakyat, khususnya warga Surabaya. Berkat orasi Bung Tomo, pertempuran rakyat Surabaya melawan Belanda pada 10 November 1945 menjadi pertempuran terdahsyat selama perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November
Melansir ditsmp.kemdikbud.go.id, pada tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran di Surabaya yang merupakan pertempuran besar antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Inggris. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran Surabaya juga merupakan pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia, yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.
Bentrokan-bentrokan tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (Pimpinan Tentara Inggris untuk Jawa Timur) pada 30 Oktober 1945. Kematian Jendral Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby yaitu Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan Ultimatum 10 November 1945. Ultimatum tersebut meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Ultimatum tersebut juga disertai ancaman akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila orang-orang Indonesia tidak mentaati perintah Inggris. Mereka juga mengeluarkan instruksi yang isinya bahwa semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda di Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan.
Namun ultimatum itu tidak ditaati oleh rakyat Surabaya, sehingga terjadilah pertempuran Surabaya yang sangat dahsyat pada tanggal 10 November 1945, selama lebih kurang tiga minggu lamanya. Medan perang Surabaya kemudian mendapat julukan “neraka” karena kerugian yang disebabkan tidaklah sedikit. Pertempuran tersebut telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Selain itu diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya dan tercatat sekitar 1.600 orang prajurit Inggris tewas, hilang dan luka-luka serta puluhan alat perang rusak dan hancur.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itu, serta semangat membara tak kenal menyerah yang ditunjukkan rakyat Surabaya, membuat Inggris serasa terpanggang di neraka dan membuat kota Surabaya kemudian dikenang sebagai Kota Pahlawan. Kemudian, tanggal 10 November diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pahlawan sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan pengorbanan para pahlawan dan pejuang.
wahh menambah pengetahuan
BalasHapus